Gelar Diskusi Publik, MPM Muhammadiyah Kawal Revisi UU Pelindungan PMI

6 hours ago 5

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pekerja migran Indonesia (PMI) masih menghadapi pelbagai kendala dan tantangan serius, seperti penempatan non-prosedural, ancaman eksploitasi, kekerasan, hingga lemahnya skema perlindungan di negara tujuan. Hal itu disampaikan Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, M Nurul Yamin, dalam diskusi di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, hari ini.

Karena itu, lanjut dia, revisi atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI menjadi sebuah momen krusial. Ini pun tidak hanya berkaitan dengan dimensi hukum, tetapi juga keadilan sosial, kemanusiaan, dan keberlanjutan pembangunan.

Terkait itu, MPM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bekerja sama dengan Sahabat Migran Berkemajuan (SaranMu) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah menyampaikan aspirasi kepada pemerintah maupun parlemen. Penyampaian pendapat itu disajikan melalui diskusi publik yang mengundang unsur-unsur Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Badan Legislatif DPR-RI, serta akademisi.

Menurut Yamin, arah revisi UU Nomor 18/2017 mesti dikawal agar tidak berorientasi pada liberalisasi tenaga kerja dan sekadar memperkuat peran swasta. Ia menekankan, beleid yang ada nantinya mesti menguatkan sistem perlindungan terhadap PMI, baik yang dilakukan negara maupun dengan melibatkan komunitas civil society.

MPM Muhammadiyah, lanjutnya, turut menaruh perhatian besar pada perlindungan PMI, baik sebelum berangkat ke luar negeri, ketika bekerja di negara tujuan, maupun sepulangnya mereka ke Tanah Air. Sebagai contoh, pihaknya telah membangun Kampung Migran Berkemajuan di daerah-daerah yang menjadi “kantong” pengiriman PMI.

“Muhammadiyah pun memiliki puluhan cabang istimewa di luar negeri. Itu bisa menjadi perekat dalam membangun komunikasi dengan PMI. Termasuk juga SaranMu,” ujar Yamin dalam pidato pembukaan acara diskusi bertajuk “Mewujudkan Pekerja Migran yang Berkemakmuran dan Berkeadilan” di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (11/7/2025).

Yamin menyoroti beberapa persoalan terkait situasi PMI saat ini. Di antaranya, masih tingginya angka penempatan non-prosedural dan bahkan perdagangan orang (human trafficking). Kemudian, masih minimnya keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam sistem perlindungan PMI.

“MPM Muhammadiyah memandang, organisasi masyarakat dan civil society dapat terlibat secara langsung melalui upaya pemberdayaan PMI, baik sebelum keberangkatan maupun setelah kepulangan,” tukasnya.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan mengatakan, revisi UU Perlindungan PMI mesti berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, negara dapat lebih berperan dan hadir dalam melindungi seluruh PMI, baik yang berstatus legal maupun ilegal. Sebab, kewajiban negaralah untuk melindungi semua warganya yang berada di luar negeri.

“Regulasi ini harus berbasis kemanusiaan. Kemanusiaan harus terlindungi, dan pekerja migran harus mendapat status legal,” katanya.

Penguatan bahasa asing

Sementara itu, pakar hukum ketenagakerjaan Prof Fithriatus Shalihah menekankan, banyak masyarakat Indonesia yang masih menaruh harapan pada mencari nafkah di luar negeri. Sebab, lanjut akademisi Universitas Ahmad Dahlan itu, pada faktanya ketersediaan lapangan kerja di Tanah Air tidak mencukupi dengan besarnya jumlah angkatan kerja.

“Jumlah kebutuhan lebih banyak dibandingkan dengan kesempatan kerja yang tersedia,” kata Prof Fithriatus, Jumat (11/7/2025).

Itu terbukti dengan peningkatan jumlah PMI dari tahun ke tahun, yakni sebanyak 200.761 orang pada 2022 menjadi 274.965 orang pada 2023 dan melonjak lagi hingga 296.970 orang pada 2024.

Data yang dihimpun pada November 2024 menunjukkan, lima besar negara tujuan PMI, yakni Taiwan (sekira 52 ribu orang), Malaysia (8.152 orang), Hong Kong (3.195 orang), Singapura (2.581 orang), dan Italia (2000 orang).

Dinamika juga terjadi pada daerah-daerah yang menjadi “kantong” pengiriman PMI. Prof Fithriatus memaparkan 10 provinsi yang menjadi pengirim PMI terbesar ke luar negeri dalam rentang tahun 2022-2024, yakni Jawa Timur (201.801 orang), Jawa Tengah (171.337 orang), Jawa Barat (144.582 orang), NTB (80.026 orang), Lampung (59.213 orang), Sumatra Utara (29.857 orang), Bali (25.929 orang), Banten (8.212 orang), Sumatra Selatan (4.829 orang), dan NTT (4.199 orang).

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |