Adinda Safitri Abu Bakrin
Kebijakan | 2024-11-29 17:24:12
Pengalaman pahit telah dialami oleh sejumlah pasien akibat buruknya pelayanan BPJS Kesehatan di Rumah Sakit, termasuk di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ampana, Kabupaten Tojo Unauna, Sulawesi Tengah. Keluhan disampaikan oleh Kahrudin, warga Kecamatan Tojo, yang telah menunggu sejak pukul 08.00 pagi hingga pukul 12.00 siang namun belum juga dilayani oleh pihak rumah sakit untuk antrian BPJS Kesehatan. Ia menyatakan ‘Kami datang berobat justru merasa tersiksa di sini, padahal saya sudah mendaftar' (Radio Republik Indonesia, 7 Juni 2023). Hal serupa juga disampaikan oleh Ibu Erni, yang berasal dari Bongka Koi, Kecamatan Ulubongka. Sejak pukul 09.00 pagi hingga pukul 12.00 siang, Ibu Erni masih harus menunggu giliran di loket
Peristiwa lain juga dialami oleh Salsabila, warga Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, sebagai peserta BPJS Kesehatan. Sang ibu yang sudah lansia dibuat enggan untuk berobat kembali menggunakan BPJS Kesehatan setelah harus menunggu antrean selama beberapa jam untuk diperiksa dokter. Setahun yang lalu, kejadian jatuh di kamar mandi dialami oleh sang ibu, yang kemudian mengeluhkan rasa sakit pada kakinya. Beberapa kali pemijatan dilakukan oleh tukang pijit, namun keadaannya tidak mengalami perubahan. Akhirnya, pengobatan ke dokter menggunakan BPJS Kesehatan diputuskan oleh Salsa agar rontgen dapat dilakukan. Namun, pemberian beberapa obat dilakukan pada saat itu, dan tidak ada perubahan yang dirasakan. Selanjutnya, surat rujukan ke RS sebagai faskes dua diberikan pada pertemuan berikutnya.
Setelah proses fisioterapi dijalani selama sebulan, saran untuk kembali memeriksakan diri ke dokter sebelumnya diberikan kepada sang ibu. Karena antrean panjang yang harus diikuti untuk pemeriksaan dokter, pengakuan bahwa ibunya menyerah disampaikan oleh Salsa. Rasa capek dan lelah untuk mengikuti antrean juga diungkapkan olehnya. Mulai dari proses pendaftaran pasien BPJS Kesehatan, pendaftaran dokter, hingga pengambilan obat di farmasi, waktu sekitar 5 sampai 6 jam dihabiskan oleh Salsa dan ibunya. (Liputan6.com, 10 Mei 2023).
Berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, iuran kepersertaan BPJS dibagi menjadi 1,2 dan 3. Pembagian kelas dimaksudkan untuk fasilitas rawat inap, tanpa membedakan pelayanan medisnya. Namun problematika dalam masyrakat peserta BPJS adalah masih sulitnya akses dan lama antrean untuk masuk rawat inap ke rumah sakit rujukan. Baik, rumah sakit umum daerah (RSUD) maupun di RS rujukan nasional. Bpjs Watch, meyebutkan fakta tersebut adalah diskriminasi terhadap pasien BPJS Kesehatan. Dan, ini hampir terjadi di seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama hingga lanjutan atau dari puskesmas sampai rumah sakit.
Peristiwa ini sungguh ironis dan menjadi masalah serius yang menodai rasa keadilan serta mengikis kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Tanpa jaminan kesehatan yang memadai, banyak masyarakat terpaksa menunda atau bahkan tidak menerima perawatan yang diperlukan, yang dapat memperburuk kondisi kesehatan mereka dan meningkatkan risiko kemiskinan karena tingginya biaya pengobatan.
Perlakuan diskriminasi juga disoroti Ombusdman RI “Kita melihat bahwa diakui atau tidak fakta dilapangan menunjukkan bahwa kuota dan diskriminasi sering kali merugikan para peserta pasien BPJS. Disini yang kita minta kepada pemerintah bahwa pelayanan kesehatan adalah hak masyarakat dan menjadi kewajiban negara untuk membiayai kesehatan” Tanggapan serius diberikan oleh Robert na Endi Jaweng salah satu anggota Omdibusman RI kepada (Liputan6. Com 10 Mei 2023)
Keluhan lainnya juga datang dari para peserta BPJS Kesehatan yang merasa dibedakan dan kurang diprioritaskan, lebih dari itu pasien BPJS ditolak pihak rumah sakit, serta lamanya penanganan dan administrasi. Padahal, kesehatan adalah hak dasar dan bentuk investasi bagi setiap masyarakat, termasuk mereka yang kurang mampu. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu.
Jika instansi kesehatan melakukan diskriminasi pada pasien, maka instansi tersebut telah melanggar ketentuan Perturan Kemenkes RI No 28 Tahun 2014 BAB 4 yang menyatakan bahwa “Manfaat jaminan yang diberikan kepd peserta dalam bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) berdasarkan kebutuhan medis yang diperlukan” Pembedaan dan kurangnya prioritas membuat masyarakat menilai bahwa pelayanan BPJS belum memenuhi sila kelima Pancasila, yaitu sila keadilan. Keadilan yang dimaksud dalam hal ini yaitu kesetaraan pelayanan kesehatan yang diberikan pada setiap pasien, baik pengguna BPJS atau pun tidak.
Melirik data BPJS Watch tahun 2022, menunjukkan bahwa ada 109 kasus kecurangan yang dilaporkan. di tingkat puskesmas, diskriminasi sering kali terjadi dalam bentuk pemberian obat yang tidak sesuai dengan jatah, memaksa pasien untuk membeli obat tambahan dengan biaya sendiri. Sedangkan di rumah sakit, kasus yang paling sering dilaporkan adalah re-admisi, di mana pasien yang belum sembuh sepenuhnya dipulangkan dan kemudian diminta untuk kembali lagi untuk perawatan lebih lanjut.
Sedangkan, data temuan dari Ombudsman RI mencatat 700 pengaduan sepanjang tahun 2021-2022 dengan kasus mayoritas penolakan pasien BPJS Kesehatan di rumah sakit dengan alasan kuota terbatas. Berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan pihak rumah sakit terkait kuota terbatas cukup melanggar aturan. Kendati demikian, diskriminasi terhadap pasien BPJS masih sering terjadi hingga saat ini. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi kasus diskriminasi yaitu dengan membuka dan mengubungi nomor pengaduan BPJS agar segera ditindak lanjuti dan mandapatkan efek jera.
Sesuai dengan kebijakan pemerintah, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak, berkualitas, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Program Jaminan Kesehatan Nasional sangat penting bagi Indonesia untuk memastikan akses layanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan taraf hidup masyarakat, serta menciptakan pemerataan layanan kesehatan di seluruh wilayah. BPJS Kesehatan berkewajiban memberikan informasi lengkap mengenai hak dan kewajiban masyarakat kepada petugasnya di lapangan, sehingga mereka dapat dengan cepat merespons dan memberikan jawaban jika masyarakat membutuhkan penjelasan.
Untuk menuntaskan maladministrasi dalam pelayanan BPJS Kesehatan, diperlukan pendekatan yang sistematis dan terintegrasi. Pertama, digitalisasi layanan harus dipercepat, seperti penerapan sistem antrean berbasis aplikasi yang memungkinkan pasien mendaftar, memilih waktu konsultasi, dan mendapatkan informasi jadwal dokter secara daring. Hal ini akan mempersingkat waktu tunggu dan meningkatkan efisiensi pelayanan. Kedua, pelatihan dan peningkatan kapasitas petugas BPJS Kesehatan perlu dilakukan secara berkala, termasuk penyuluhan tentang hak-hak peserta serta pengelolaan keluhan masyarakat. Ketiga, pengawasan internal dan eksternal harus diperketat, dengan membentuk tim audit independen yang bertugas memantau pelayanan di fasilitas kesehatan secara berkala untuk mencegah diskriminasi dan kecurangan. Keempat, pemerintah perlu menyediakan alokasi dana tambahan untuk meningkatkan fasilitas kesehatan di daerah terpencil, memastikan akses yang merata di seluruh wilayah.
Terakhir, penting bagi BPJS Kesehatan untuk meningkatkan keterbukaan informasi dengan menyediakan layanan pengaduan yang responsif melalui berbagai platform, sehingga masyarakat dapat menyampaikan keluhan secara cepat dan solusi dapat diberikan secara langsung. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan BPJS Kesehatan dapat pulih, sekaligus mewujudkan sistem jaminan kesehatan yang adil dan inklusif.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.