REPUBLIKA.CO.ID, GUADALAJARA – Penerbit Palestina Samir Mansour (59 tahun) dianugerahi Prix Voltaire 2024 dari Asosiasi Penerbit Internasional pada upacara penghargaan Kongres Penerbit Internasional ke-34 di Guadalajara, Meksiko. Samir Mansour adalah penjual buku di Gaza yang tokonya berulang kali dibom Israel.
Upacara tersebut juga memberikan penghormatan kepada peraih pertama Hadiah Kebebasan Menerbitkan IPA saat itu, Shahla Lahiji (Iran), yang meninggal dunia pada Februari 2024, dan peraih tahun 2009 Sihem Bensedrine (Tunisia), yang ditangkap awal tahun ini dan masih ditahan.
“Sebelum, selama, dan pasca konflik, peran penerbit sangat penting. Perdamaian hanya mungkin terjadi dalam masyarakat yang menyambut baik pendidikan, menghargai pertukaran gagasan yang beragam, dan mendorong inovasi, dialog, dan kompromi,” kata Kristenn Einarsson, Ketua Komite Kebebasan Menerbitkan IPA dalam lansiran kemarin.
Menurutnya, buku penting sebagai pembangun empati dan sumber pengetahuan budaya. Penerbit yang memproduksi dan melindunginya, berfungsi sebagai institusi budaya yang mendorong perdamaian dan kemajuan. "Pemerintah otoriter dan entitas kuat lainnya sering kali memperketat kontrol atas informasi selama konflik, menerapkan sensor ketat, dan menyebarkan propaganda. Penerbit tidak hanya menghadapi kehancuran pribadi dalam konflik, namun juga mungkin menghadapi ancaman seperti kekerasan, penjara, atau bahkan kematian karena menerbitkan materi yang dianggap kontroversial."
Dalam video penerimaan anugerahnya, Samir Mansour menekankan tekadnya untuk terus menerbitkan buku. “Saya tetap menerbitkan buku meskipun berada di jalur Gaza. Insya Allah kami akan terus menerbitkan dan mencetak, betapapun sulitnya keadaan yang kami jalani saat ini. Kami akan melanjutkan,” ujarnya.
Toko buku ikonik milik Mansour di Gaza selatan hancur akibat serangan Israel pada Mei 2021. Toko itu kemudian dibangun kembali pada 2022. “Selama perang saat ini, toko buku juga dihancurkan lagi dan toko buku perpustakaan cabang kedua dihancurkan.”
Dilansir Arab News, Samir Mansour mendapati toko buku tiga lantai yang ia bangun kembali tahun lalu rusak parah akibat serangan udara besar-besaran Israel di Gaza.
Sebuah video yang diposting di akun Instagram resmi toko buku itu menunjukkan Mansour berjalan di atas reruntuhan proyek seumur hidupnya yang hancur. Ayah enam anak ini hanya berharap bisa melindungi keluarganya.
Berbicara secara eksklusif kepada Arab News melalui WhatsApp dari Gaza, penerbit Palestina tersebut mengatakan bahwa bangunan dapat dibangun kembali dan uang dapat dikembalikan, namun “kami hanya berharap kami dapat bertahan hidup.” Dia menambahkan: “Situasi di sini berbahaya dan semakin memburuk. Kami berharap untuk tetap aman sampai hari-hari sulit ini berlalu. Jagalah kami dalam doamu.”
Toko Buku Samir Mansour hancur menjadi puing-puing akibat perang di Gaza pada tahun 2021. Saat itu, gambar toko yang dibongkar menjadi viral di media sosial, memicu kampanye penggalangan dana global.
Dengan bantuan sumbangan dermawan, Mansour membangun kembali toko buku tersebut dari abu di area seluas lebih dari 1.000 meter persegi, tiga kali lipat ukuran toko aslinya. Dia melengkapi toko buku tersebut dengan koleksi lebih besar yaitu 400.000 buku dalam berbagai bahasa, yang mencakup cerita anak-anak, sains, filsafat, pengembangan diri, seni, sejarah, fiksi, novel, dan puisi.
Toko bukunya berkembang menjadi tempat favorit di kalangan pelajar dan pembaca sejak dibuka pada tahun 2000 di blok Kota Gaza yang sibuk dekat tiga universitas. Namun kini, bangunan tersebut menjadi simbol perlawanan Gaza.
Pemiliknya mengatakan mimpinya untuk memberikan pengetahuan kepada komunitasnya dan membangun generasi pembaca tidak akan pernah mati, meskipun nasibnya masih belum diketahui.
“Kami tidak punya pilihan selain menjadi kuat dan tangguh,” katanya kepada Arab News. “Kami akan berdiri teguh dalam semua kehancuran dan kesedihan yang tidak pernah dapat kami pulihkan.”
Israel telah menerapkan pengepungan total dan bombardir brutal terhadap Gaza yang padat penduduknya sejak 7 Oktober 2023. Sejauh ini, lebih dari 44.500 syahid, kebanyakan anak-anak dan perempuan. Hampir tak ada lagi sekolah, perpustakaan, universitas, maupun pusat kebudayaan yang masih berdiri di Gaza.