
Saya bergidik membaca tulisan Grienda Qomara, alumnus Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Tulisannya, bertajuk: Pengangguran Sarjana.
Qomara menulis, pengangguran terbanyak di Indonesia bukan lulusan SMA ke bawah, melainkan lulusan perguruan tinggi.
Para lulusannya seperti buih di lautan. Banyak tapi tak berkualitas. Dari delapan sampai 10 perusahaan di Indonesia, kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai.
Seperti potret tsunami pendidikan.
Bencana besar juga terlihat dari sistem pendidikan saat ini. Walau berkali-kali diprotes untuk diubah, tetap saja dibiarkan.
Belum selesai kurikulum ini, dibuat kurikulum itu. Begitu seterusnya. Bahkan, guru dibuat repot mengurus administrasi. Ada pula yang diteror masuk bui.
Output anak didik pun menghasilkan generasi malas baca, semaunya, mental tempe, permisif, berpola hidup instan. Enggan menerima terpaan poses hidup.
Takut menghadapi ujian, lalu bunuh diri. Jenuh tekanan di rumah dan sekolah, lari ke jalanan. Eh mencicipi narkoba, seks bebas, aneka kenakalan, dan kriminalitas.
Lantas mereka malah disalahkan, bukan dirangkul, diayomi, dibenahi.
Sedang generasi yang berprestasi hanya diberi apresiasi sekadarnya, sekaligus dijadikan alat masuk media. Begitu pula sistem pendidikan perguruan tinggi yang malah mencipta pengangguran sarjana.
Dari tulisan Qamara dan fakta-fakta lapangan menunjukkan: bukanlah isapan jempol jika perusakan sistem pendidikan terus terjadi.
Mengancam masa depan generasi, utamanya ancaman ketahanan sosial. Ancaman sistemik dengan kekuatan tak bertepi. Entah siapa yang mampu melawannya.
Banyak generasi bangsa ini memiliki kecerdasan dan keunggulan dibanding negara luar. Namun, jika tidak ditopang sistem pendidikan yang baik, tidak didukung apresiasi yang tinggi, mengakibatkan mereka mabur ke luar negeri.
Sudah banyak anak bangsa yang kecewa dengan pemerintah karena minim apresiasi. Seolah seperti desain matang: generasi dirusak, yang berprestasi dibuat sulit bergerak.
Kondisi Mencemaskan
Kita tercengang dengan data BPS dan Kemenaker, yang menunjukkan tren mencemaskan.
Tahun 2014, jumlah penganggur bergelar sarjana tercatat sebanyak 495.143 orang. Angka ini melonjak drastis menjadi 981.203 orang pada 2020. Lalu, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (2025), ada lebih dari satu juta pengangguran sarjana di tahun ini.
Lulusan perguruan tinggi sulit mendapat pekerjaan. Jumlah sarjana menganggur menyumbang 6,5 persen dari total pengangguran. Adapun total pengangguran di Indonesia menembus 7,28 juta orang per Februari 2025. Jumlah ini meningkat sebanyak 1,1% dibandingkan tahun sebelumnya.
Tingginya angka pengangguran dari kalangan lulusan universitas yang mencapai lebih satu juta orang, menjadi alarm bagi semua. Kondisi ini adalah ironi dan bentuk nyata kegagalan sistemik di tengah peluang bonus demografi Indonesia.
Apalagi anggaran pendidikan tahun 2025 cukup besar yang mencapai Rp 76,4 triliun, termasuk Rp 4,7 triliun untuk pengembangan sarana prasarana di perguruan tinggi negeri.
Kita sedang menghadapi situasi absurd. Negara mengeluarkan triliunan untuk pendidikan tinggi, tapi hasilnya malah panen pengangguran terdidik. Ini bukan sekadar angka statistik.
Ini adalah kegagalan sistemik. Mau sampai kapan bangsa ini pura-pura buta tuli terhadap link and match pendidikan dengan dunia kerja yang tidak sinkron. Kondisi ini menggambarkan panen sarjana tapi ladangnya kosong.
Yang mengejutkan ada pejabat yang malah menyarankan generasi muda untuk bekerja di luar negeri. Bukankah ini tindakan nyata lepas tangan terhadap tingginya angka pengangguran?
Bukankah Gibran, dalam kampanyenya dulu, berjanji membuka 19 juta lapangan kerja?
Janji tinggal lah janji. Dari tulisan Qamara dan data-data pengangguran sarjana, membuat hati masygul.
Fakta-fakta ketidak meratanya pembangunan SDA dan SDM terus terjadi. Kerusakan sosial makin mengerikan. Sedang para generasi, para pemuda inovatif yang ingin berbuat bagi negerinya, tapi minim dukungan. Akhirnya banyak yang diambil pihak asing.
Sedangkan jabatan-jabatan strategis di Indonesia, banyak diisi konco-konco penguasa dan atau mereka yang berkontribusi terhadap kemenangan Pilpres.
Bahkan, begitu tega saat rakyat kesulitan ekonomi, kesulitan mencari pekerjaan, para pejabat: justru ramai-ramai merangkap jabatan.
Sedangkan kemiskinan dan kebodahan dipelihara, para sarjana dibiarkan tanpa lapangan kerja, yang berprestasi diabaikan, para professor, pakar-pakar tak diberi kesempatan.
Lalu di waktu tertentu rakyat diberi uang tak seberapa untuk menjaga suara di setiap pemilihan umum. Begitu terus berulang-ulang.
Apakah negeri ini sengaja dihancurkan? Proyeksi Indonesia Emas 2045 bisa-bisa malah berubah menjadi Indonesia Cemas. Mengerikan.
Shalaallahu alaa Muhammad
Rudi Agung