Vaksinasi dan Warisan Kolonial : Ketika Tubuh Warga Dijadikan Laboratorium

4 hours ago 4
Ilustrasi vaksinasi. Foto : republika

Oleh: Yenny Narny

Dosen FIB Unand

Belakangan ini, publik Indonesia kembali dihadapkan pada kenyataan yang menggugah tanya : mengapa negeri ini kerap menjadi lokasi uji klinis vaksin oleh perusahaan luar negeri ? Salah satunya adalah vaksin TBC M72/AS01E, hasil kolaborasi antara GlaxoSmithKline dan Gates Medical Research Institute, yang tengah diuji coba di sejumlah daerah. Meski disebut sebagai kontribusi untuk kemanusiaan, proyek ini justru menyisakan kekhawatiran dari banyak sisi: transparansi informasi yang minim, proses persetujuan yang tidak memadai, hingga posisi warga yang lebih tampak sebagai subjek eksperimen ketimbang mitra. Di balik wajah modern dunia medis, muncul kembali bayang-bayang lama : bahwa tubuh masyarakat Indonesia belum benar-benar berdaulat atas dirinya sendiri.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Fenomena ini bukan sesuatu yang hadir begitu saja. Ia berakar dari sejarah panjang kolonialisme medis yang menjadikan tubuh penduduk jajahan sebagai ladang uji coba. Salah satu bukti yang terekam dalam sejarah adalah laporan Bataviasche Courant edisi 12 April 1823. Dalam artikel itu, disebutkan bahwa sejak tahun 1821, vaksinasi cacar sapi—atau yang kala itu dikenal sebagai koepokinenting—telah dilakukan terhadap lebih dari 10 ribu orang di Keresidenan Jepara, termasuk Kudus, Pati, dan Juana. Angka ini seolah menjadi penanda keberhasilan dan antusiasme terhadap kemajuan medis. Namun jika ditelaah lebih dalam, data tersebut menyiratkan hal lain: tubuh-tubuh pribumi telah dijadikan laboratorium hidup demi agenda kekuasaan.

Dalam kerangka pemikiran Michel Foucault, situasi ini menggambarkan konsep biopolitik—yakni bagaimana kekuasaan modern tak lagi mengatur dengan kekerasan, melainkan dengan cara mengelola kehidupan, termasuk melalui praktik kesehatan publik. Laporan yang sama mencatat bahwa dua tahun kemudian, jumlah warga yang divaksinasi melonjak drastis: 17.568 di Jepara, 14.005 di Kembang, dan hampir 10 ribu di Surabaya. Ini bukan hanya deretan angka, tapi bukti nyata bagaimana tubuh manusia dijadikan medan kuasa dan alat kontrol sosial oleh pemerintahan kolonial.

Ironisnya, vaksinasi kala itu tetap diklaim sebagai pilihan bebas. Namun Foucault mengingatkan bahwa dalam rezim governmentality, kebebasan sejatinya telah dikonstruksi sedemikian rupa agar sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Ambil contoh di Nias, ketika dokter-dokter Jawa dikirim untuk memvaksinasi warga di Gunung Sitoli dan Lagundri. Menurut Junaidi (2023), pemilihan vaksinator lokal bukan sekadar alasan praktis, melainkan strategi untuk membungkus dominasi dengan wajah yang lebih “ramah” di mata masyarakat.

Pola yang sama kembali kita saksikan hari ini. Dalam uji coba vaksin TBC M72/AS01E, Indonesia sekali lagi menjadi lokasi percobaan besar-besaran. Ribuan warga direkrut sebagai relawan, dengan dukungan penuh dari negara yang menyediakan fasilitas kesehatan dan sumber daya. Narasi yang dibangun menyebut proyek ini sebagai bentuk partisipasi dalam kemanusiaan global. Namun kita harus bertanya: kemanusiaan versi siapa ? Dan siapa yang benar-benar diuntungkan?

Jurnalis Mareta Uli dari The Jakarta Post (19 Mei 2025) mencatat bahwa komunikasi dari otoritas kesehatan amat lemah. Banyak relawan tidak benar-benar memahami apa yang mereka jalani—risiko, tujuan, atau bahkan konteks historisnya. Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cerminan krisis kepercayaan yang semakin dalam. Defriman Djafri, Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, bahkan bertanya lugas dalam opininya di Kompas.id (21 Mei 2025): “Apakah Indonesia akan selamanya menjadi laboratorium hidup?”

Perlawanan terhadap praktik semacam ini juga bukan hal baru. Pada 1854 di Bangka, seperti dicatat Javasche Courant, sebagian warga yang menolak vaksinasi memilih melarikan diri ke hutan. Dalam sudut pandang pemerintah kolonial, tindakan ini dianggap tidak rasional. Namun jika dilihat dari kacamata masyarakat, itu mungkin adalah satu-satunya bentuk perlawanan terhadap kekuasaan yang tak memberi ruang untuk suara mereka.

Kisah serupa kembali muncul saat wabah cacar menyerang Meester-Cornelis (sekarang Jakarta Timur) pada 1930. Dalam hitungan hari, ratusan warga divaksin ulang setiap harinya. Harian Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië (2 Mei 1930) mencatat bahwa 80–90% populasi menerima vaksinasi ulang, dan hingga 100 orang per hari divaksin di wilayah sekitarnya seperti Tangerang dan Buitenzorg. Tubuh masyarakat diperlakukan seperti tameng pertama dalam menghadapi wabah—tanpa adanya dialog, partisipasi, atau pemahaman kritis tentang proses yang mereka jalani.

Kini, memang wajah medis tampak lebih canggih, lebih bersih, dan lebih santun. Tapi jejak kolonial itu belum sepenuhnya pudar. Kita masih menyaksikan vaksinasi massal dilakukan tanpa kontrol penuh atas data pribadi, kepemilikan paten, bahkan hak atas hasil riset yang melibatkan tubuh kita sendiri. Di balik euforia atas kemajuan sains, publik kerap diposisikan hanya sebagai penonton pasif—bukan sebagai pemilik sah tubuhnya sendiri.

Foucault pernah mengatakan bahwa kekuasaan bekerja paling efektif ketika ia menyamar sebagai kebaikan—entah itu ilmu pengetahuan, kesehatan, atau kemanusiaan. Maka, jika kita sungguh ingin membebaskan diri dari sisa-sisa kolonialisme medis, langkah pertama yang harus diambil adalah menyadari bahwa tubuh warga bukan sekadar objek eksperimen, melainkan entitas politik yang punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

Kedaulatan sejati, sebagaimana kemerdekaan yang hakiki, selalu bermula dari tubuh. Dan dari tubuh pulalah, kita seharusnya mulai bertanya dengan jujur: sudahkah kita benar-benar merdeka ? (*)

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |