Indonesia (Masih) Belum Berkutik di Tengah Pusaran Perang Tarif Global

2 days ago 9

Home > Kolom Sunday, 30 Mar 2025, 16:45 WIB

Tarif dagang belum membaik bisa hambat Indonesia di tengah perang dagang AS-Tiongkok.

FreepikIndonesia terjebak pusaran perang dagang AS-Tiongkok, dua mitra dagang utama Indonesia di kancah internasional. Sumber:Freepik

ShippingCargo.co.id, Jakarta – Kebijakan tarif impor Amerika Serikat kembali memicu ketidakpastian global. PasalnyaPresiden Donald Trump menetapkan tarif 25 persen untuk barang dari Meksiko dan Kanada serta tambahan 10 persen untuk produk asal Tiongkok.

Langkah ini memicu respons cepat dari negara-negara terdampak. Kanada, negeri tetangga AS,langsung balas dengan memberikan tarif serupa senilai US$155 miliar terhadap produk AS, serta Tiongkok yang memberlakukan bea masuk pada US$21 miliar produk pertanian dan pangan dari AS.

Bagi Indonesia, yang berada di tengah rantai pasok global dan memiliki hubungan dagang signifikan dengan AS dan Tiongkok, ketegangan ini bisa membawa dampak besar. Lembaga think-thank ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan bahwa indikator ekonomi AS saja belum membaik.

Alasan ini cukup kuat karena data ekonomi Amerika Serikat hingga saat ini belum menunjukkan perbaikan. Menurut laporan bulanan INDEF yang terbit pada Senin, 17 Maret 2025, meskipun harga barang dan jasa (inflasi) menurun, masalah pengangguran justru meningkat.

Di pasar keuangan, nilai mata uang Dolar AS menguat dibandingkan tahun lalu, yang menandakan investor masih banyak menyimpan aset dalam bentuk Dolar AS karena ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi. Akibatnya, kemungkinan penurunan suku bunga acuan AS masih belum dalam waktu dekat.

Peluang Diversifikasi dan Reshoring

Meski situasi ini mengancam stabilitas perdagangan, beberapa pihak melihatnya sebagai peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi sebagai alternatif rantai pasok global. Alex Bowles, Direktur Transparency-One, menekankan bahwa perusahaan perlu lebih proaktif dan beradaptasi dengan gangguan seperti tarif.

"Diversifikasi membuka peluang untuk menjalin kemitraan baru di kawasan yang tidak terdampak tarif, meningkatkan daya saing dan mengurangi ketergantungan pada pemasok tertentu," katanya, seperti dilansir oleh Insitute of Supply Management pada awal Maret silam.

Konsep reshoring, yaitu pemindahan rantai produksi ke dalam negeri, juga menjadi perbincangan di beberapa negara. India, misalnya, telah menyesuaikan strategi tarifnya terhadap produk AS untuk menarik investasi. Di Indonesia, kebijakan ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat industri manufaktur dan menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI).

Namun, Michael Starr, Wakil Presiden Zencargo, mengingatkan bahwa reshoring bukan solusi instan. "Membangun pabrik membutuhkan waktu enam hingga tujuh tahun, investasi besar, serta tenaga kerja terampil," katanya. Sementara itu, strategi jangka pendek lebih berfokus pada efisiensi biaya dan optimasi rantai pasok.

Strategi Mitigasi untuk Bisnis Indonesia

Dalam menghadapi dinamika ini, perusahaan di Indonesia dapat mengadopsi beberapa strategi mitigasi:

  1. Diversifikasi pemasok – Mengurangi ketergantungan pada satu negara dengan memperluas jaringan ke pemasok regional seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
  2. Manfaatkan zona perdagangan bebas – Mengoptimalkan penggunaan fasilitas kawasan berikat atau free trade zones untuk mengurangi dampak tarif.
  3. Optimasi rantai pasok – Menganalisis klasifikasi tarif dan mencari cara untuk mengurangi beban pajak dengan mengganti material atau menyesuaikan bentuk produk.
  4. Sumber bahan baku secara lokal – Mengurangi ketergantungan pada impor dengan mengembangkan kapasitas produksi dalam negeri.

Dengan ketidakpastian global yang terus berlanjut, ketahanan rantai pasok dan fleksibilitas strategi perdagangan menjadi kunci bagi Indonesia dalam menavigasi dampak perang dagang ini.

Image

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |