syelamutiara zhr
Politik | 2025-05-05 16:51:33
Di tengah derasnya arus informasi digital dan ledakan konten di media sosial, periklanan kini tidak lagi didominasi oleh brand besar atau agensi kreatif. Para influencer mengambil alih sebagian besar ruang promosi, menjadi jembatan antara produk dan publik. Namun, kebebasan ini membawa konsekuensi serius, terutama ketika iklan yang seharusnya informatif dan jujur berubah menjadi alat manipulasi.
Belakangan ini, publik menyaksikan kehadiran figur yang dijuluki “dokter detektif”, yaitu tenaga medis atau profesional kesehatan yang secara aktif mengulas dan mengkritisi klaim-klaim menyesatkan dalam iklan produk, terutama yang beredar lewat influencer. Sosok ini menjadi “penjaga gerbang” moral di tengah lemahnya pengawasan terhadap konten iklan di ranah digital.
akun media sosial DOKTIF yang sering digunakan untuk mereview product
Contoh yang menonjol adalah iklan SKINCARE atau produk kecantikan yang Overclaim dan menjanjikan hasil instan tanpa dasar ilmiah. Influencer dan Owner yang mempromosikan produk semacam ini kerap tidak memahami atau bahkan mengabaikan tanggung jawab atas pengaruh yang mereka miliki terhadap audiensnya.
Etika Periklanan yang Dilanggar
Iklan, dalam bentuk apa pun, semestinya mematuhi kode etik periklanan yang menjunjung nilai kejujuran, tanggung jawab sosial, dan perlindungan terhadap konsumen. Di Indonesia, hal ini tertuang dalam Etika Pariwara Indonesia yang menyatakan bahwa iklan tidak boleh:
Mengandung klaim yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Memberikan harapan yang tidak realistis.
Menyesatkan atau memperdaya masyarakat.
Namun, banyak influencer tidak terikat secara formal pada etika industri periklanan, karena status mereka bukan bagian dari badan atau asosiasi periklanan resmi. Inilah celah yang kemudian dimanfaatkan banyak pihak untuk mempromosikan produk tanpa regulasi ketat, dengan mengabaikan fakta dan keselamatan konsumen.
Regulasi dan UU: Perlindungan Konsumen yang Perlu Diperkuat . Secara hukum, sebenarnya sudah ada landasan kuat untuk melindungi masyarakat dari iklan yang menyesatkan:
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 9 melarang pelaku usaha membuat pernyataan yang menyesatkan terkait manfaat suatu produk.
Pasal 10 melarang promosi atau periklanan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Pasal 28 ayat (1) menyatakan bahwa menyebarkan informasi elektronik yang menyesatkan dan merugikan konsumen dapat dipidana.
Peraturan BPOM dan Kementerian Kesehatan
Iklan produk makanan, obat, dan kosmetik harus mendapat izin edar dan tidak boleh mengandung testimoni palsu, klaim berlebihan, atau jaminan kesembuhan.
Namun, penegakan regulasi ini di ruang digital masih lemah. Tidak semua iklan yang menyesatkan ditindak, apalagi bila disampaikan melalui media sosial oleh figur publik yang tidak berada dalam pengawasan langsung lembaga negara.
Peran “Dokter Detektif”: Etika Melawan Viralitas
Di sinilah peran sosok seperti "dokter detektif" menjadi penting. Mereka hadir bukan untuk menciptakan kontroversi, melainkan mengedukasi dan menyelamatkan publik dari iklan-iklan menyesatkan. Dalam dunia di mana konten viral lebih mudah tersebar daripada klarifikasi ilmiah, keberadaan mereka adalah bentuk nyata dari penerapan etika profesional dan tanggung jawab sosial.
Namun demikian, kondisi ini menunjukkan bahwa beban etika tidak boleh hanya dibebankan pada segelintir individu. Influencer, brand, agensi, dan pemerintah harus turut bertanggung jawab. Influencer, khususnya, harus mulai menyadari bahwa mereka bukan hanya “penjual jasa promosi”, tetapi juga memiliki pengaruh sosial yang besar dan bisa membentuk perilaku konsumtif, bahkan keputusan kesehatan masyarakat.
Saatnya Etika dan Hukum Bergerak Seiring Periklanan bebas tidak boleh menjadi periklanan yang liar. Etika harus menjadi fondasi dari setiap bentuk promosi, baik di TV maupun TikTok. Dengan penguatan regulasi dan edukasi terhadap semua pihak termasuk konsumen maka ruang digital bisa menjadi tempat yang sehat, adil, dan bertanggung jawab secara sosial.
Kita butuh lebih banyak "dokter detektif", tetapi juga lebih banyak influencer yang tahu batas antara kreativitas dan integritas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.