Oleh Fitriyan Zamzami, Rizky Suryarandika
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden pada Oktober lalu, kondisi negeri di dunia perkorupsian jauh dari kata baik-baik saja. Berbagai indikasi menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam trayektori yang tak menuju perbaikan.
Jumlah kasus korupsi, misalnya, melonjak tajam dibandingkan saat Joko Widodo memulai masa jabatan periode keduanya pada 2019 lalu. Tahun itu, ICW merekam ada 271 kasus yang ditangani kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Jumlah tersangkanya 560 orang.
Empat tahun kemudian, pada 2023, tercatat ada 791 kasus ditangani. Ini lonjakan tiga kali lipat dengan jumlah tersangka yang juga melonjak menjadi 1.695 orang.
Angka ini sebagian besar dicatatkan oleh penanganan korupsi di kejaksaan. Jika pada 2019 kejaksaan menangani 109 kasus, pada 2023 jumlah ini melonjak jadi 551 kasus. Penanganan kasus di kepolisian juga naik dari 100 kasus pada 2019 menjadi 192 kasus di 2023.
Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semestinya jadi ujung tombak justru menurun angka penindakannya. Jika pada 2019 KPK menangani sebanyak 62 kasus, angkanya menurun pada 2023 menjadi 48 kasus.
Tak hanya itu indikasi kian parahnya korupsi di Indonesia. Setelah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparency International sempat membaik pada 2019 dengan skor 40, pada 2023 angkanya merosot lagi ke 34 poin. Angka ini serupa dengan saat Jokowi dilantik pertama kali pada 2014. Indonesia berada di posisi ke-115 di antara negara-negara dunia terkait indeks ini.
Survei yang dilangsungkan oleh Badan Pusat Statistik juga menunjukkan kecenderungan yang tak kala memprihatinkan: kian kemari, masyarakat Indonesia makin permisif terhadap tindak pidana korupsi. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang dikeluarkan oleh BPS pada 2024 menunjukkan skor IPAK Indonesia pada angka 3,85. Ini merosot dari angka pada 2022 sebesar 3,92.
IPAK dihitung pada skala 0 sampai 5. Semakin ke atas menunjukkan masyarakat yang semakin tidak menoleransi korupsi. Capaian tahun ini jauh dari target dari yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2023, yakni 4,09.
Merujuk survei BPS tersebut, masyarakat kian permisif dengan tindak pidana korupsi karena hal-hal yang mereka lihat di sekitar mereka, termasuk saat berurusan dengan aparatur negara yang memberikan pelayanan publik. Ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya soal pejabat tinggi atau politikus yang tertangkap dan diekspos media. Korupsi juga sudah menyesap ke dalam pengalaman pribadi rakyat kebanyakan.
Prabowo agaknya paham soal kedaruratan korupsi ini. Dalam pidato kenegaraannya selepas dilantik di Kompleks Parlemen, ia menekankan bahwa inilah kenyataannya. “Marilah kita berani mawas diri, menatap wajah sendiri, dan mari berani memperbaiki diri sendiri, mari berani mengoreksi diri kita sendiri. Kita harus menghadapi kenyataan, bahwa masih terlalu banyak kebocoran, penyelewengan, korupsi di negara kita,” ujarnya pada 20 Oktober lalu.
Ia juga menyadari bahwa merebaknya korupsi ini bukan bahaya yang main-main. “Ini adalah yang membahayakan masa depan kita dan masa depan anak-anak kita dan cucu-cucu kita.”
Presiden menyatakan, tindak korupsi ini kerap dipicu kolusi di antara para pejabat politik dan pejabat pemerintah di semua tingkatan, dengan pengusaha-pengusaha nakal dan tidak patriotik. “Jangan takut melihat realita ini. Kita masih melihat sebagian saudara-saudara kita yang belum menikmati hasil kemerdekaan. Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tidak makan pagi. Terlalu banyak anak-anak kita yang tidak punya pakaian untuk berangkat sekolah,” Prabowo melanjutkan pidatonya.
Bagaimana kemudian membereskan persoalan tersebut. “Saya sudah katakan, kita harus berani menghadapi dan memberantas korupsi dengan perbaikan sistem, dengan penegakan hukum yang tegas, dengan digitalisasi, insya Allah kita akan kurangi korupsi secara signifikan,” kata Prabowo.
Ia juga menekankan bahwa para pimpinan di berbagai tingkatan pemerintahan harus mengambil inisiatif soal maraknya korupsi ini. “Seluruh unsur pimpinan harus memberi contoh. Ing ngarso sung tulodo. Ada pepatah yang mengatakan kalau ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala. Semua pejabat dari semua eselon, dari semua tingkatan, harus memberi contoh untuk menjalankan kepemimpinan pemerintahan yang sebersih-bersihnya.”
Setelah ada kesadaran pada para pimpinan, menurut Prabowo yang diperlukan selanjutnya adalah “penegakan hukum yang tegas dan keras.”
Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan bahwa “omong-omong” Prabowo tersebut masih perlu pembuktian dengan langkah nyata. Ketua Pukat FH UGM, Totok Dwi Diantoro menyatakan, salah satu faktor anjloknya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia belakangan adalah hilangnya independensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
“KPK kini tidak lagi berada di puncak independensinya, dan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi,” ujar Totok dalam jumpa pers bulan lalu.
Pemerintahan Prabowo belum menegaskan soal bagaimana KPK akan kembali diberdayakan kembali untuk bertugas secara lebih independen. “Ini menjadi masalah serius karena KPK masih berada di bawah pengaruh eksekutif,” ucap Totok.
Komposisi calon pimpinan KPK yang dipilih DPR pekan lalu agaknya tak akan mengobati kekhawatiran itu. Alih-alih makin lepas dari elemen-elemen eksekutif, susunan pimpinan KPK dan dewan pengawasnya yang dipilih DPR justru makin penuh dengan aparat atau mantan aparat dari kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Pada posisi ketua KPK ada sosok Setyo Budiyanto sebagai ketua yang merupakan perwira tinggi Polri. Selanjutnya adalah Fitroh Rohcahyanto ia adalah seorang jaksa karir, demikian juga Johanis Tanak dari kejaksaan. Sedangkan Ibnu Basuki Widodo merupakan seorang hakim senior. Praktis, hanya Agus Joko Pramono yang sempat menjabat sebagai wakil ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2019-2023, bukan dari kalangan aparat.
Demikian juga di susunan Dewan Pengawas KPK 2024-2029, hanya seorang juga yang bukan aparat. Selainnya ada satu dari kepolisian, satu jaksa, dan dua hakim di susunan Dewan Pengawas KPK.
Para mantan pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute mengkritisi pimpinan KPK yang diisi oleh mayoritas penegak hukum. IM57+ Institute berpandangan hal ini akan berpengaruh pada efektivitas dari kerja KPK.
"Implikasi yang berpotensi terjadi adalah soal independensi KPK bukan hanya soal penindakan tetapi pelaksanaan supervisi atas kasus korupsi," kata Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito kepada Republika, Jumat (6/12/2024).
Lakso menjelaskan KPK memiliki fungsi utama sebagai leader dalam upaya pemberantasan korupsi. Sehingga KPK diberikan kewenangan dalam melakukan supervisi terhadap penanganan kasus yang dilakukan institusi lain, termasuk Kejaksaan dan Kepolisian.
"Menjadi persoalan ketika pimpinan KPK masih menjabat sebagai aparat yang berasal dari institusi asal yang menjadi objek supervisi penanganan kasus," ujar Lakso.
Ia juga menyoroti beberapa pimpinan memiliki masa jabatan yang masih panjang di institusi masing-masing. Ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan. “Dampaknya, efektivitas KPK dalam menjalankan fungsi penindakan dan supervisi berpotensi tidak efektif," ujar Lakso.
Artinya, sejauh ini, pidato Prabowo soal keseriusan pemberantasan korupsi belum terlihat dalam aksi nyata. Presiden masih memiliki lima tahun masa jabatan. Mudah-mudahan tak perlu selama itu menanti habisnya korupsi di Tanah Air.