Selat Malaka dan Risiko Strategis Masa Depan

7 hours ago 4

Home > Kolom Thursday, 10 Jul 2025, 11:30 WIB

Kondisi dan keamanan Selat Malaka harus dilihat sebagai investasi dalam stabilitas regional,

Unsplash/Rohit TandonIlustrasi selat Malaka. Sumber:Unsplash/Rohit Tandon

ShippingCargo.co.id, Jakarta —Kontrol atas jalur laut sempit atau maritime choke points telah lama menjadi elemen krusial dalam strategi militer dan geopolitik dunia. Dari pertempuran Gallipoli pada Perang Dunia I hingga ancaman kontemporer di Selat Malaka, pentingnya jalur-jalur ini tak pernah surut.

Pada tahun 1915, pasukan Sekutu berupaya merebut Selat Dardanella dari Turki Utsmani. Misi tersebut gagal dan memakan korban besar, namun menjadi pelajaran abadi bahwa penguasaan wilayah laut sering kali bergantung pada pengendalian wilayah pesisir. Dalam konteks itu, kontrol atas laut bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk memengaruhi dinamika di darat.

Hari ini, Selat Malaka menjadi salah satu titik paling vital dalam arsitektur logistik global. Lebih dari 90.000 kapal dagang melintas setiap tahunnya, membawa 25% dari perdagangan global, termasuk minyak bumi, LNG, dan produk manufaktur. Selat ini menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik, serta berada di antara dua kekuatan ekonomi besar: Asia Selatan dan Timur.

Namun, nilai ekonominya menjadikan selat ini rentan menjadi medan konflik di tengah meningkatnya ketegangan antara Tiongkok, Taiwan, dan Amerika Serikat. Adam Leong Kok Wey dalam tulisannya di Maritime Executive memaparkan setidaknya empat risiko konflik di Selat Malaka.

Empat Skenario Risiko Konflik di Selat Malaka
  1. Blokade atau Zona Larangan Maritim: Seperti dalam Krisis Rudal Kuba 1962, pihak-pihak yang bertikai mungkin menutup akses bagi kapal asing, memicu stagnasi perdagangan global.
  2. Operasi Penolakan Laut (Sea Denial): Penanaman ranjau laut, serangan oleh kapal selam, atau penggunaan drone dan rudal anti-kapal dapat membuat jalur ini tak dapat dilalui.
  3. Serangan ke Infrastruktur: Pesisir Pelabuhan, stasiun pengisian bahan bakar, dan fasilitas logistik bisa menjadi target serangan presisi, menghancurkan kemampuan operasional dan nilai komersial kawasan.
  4. Pendudukan Wilayah Pesisir Skenario terburuk adalah penguasaan wilayah strategis di Malaysia, Sumatra, atau Singapura oleh negara asing guna mengendalikan sepenuhnya Selat Malaka. Ini meniru pelajaran dari Gallipoli: kuasai daratan, maka lautan menyusul.

Deklarasi netral bukan jaminan keselamatan. Negara-negara pesisir di Asia Tenggara perlu memperkuat deterrence militer yang kredibel—melalui kekuatan laut, udara, dan darat—dalam strategi lintas-domain yang holistik.

Sebagaimana Julian Corbett katakan, kekuatan laut bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk memengaruhi situasi di darat. Maka, kondisi dan keamanan Selat Malaka harus dilihat sebagai investasi dalam stabilitas regional, kedaulatan nasional, dan ketahanan ekonomi global bagi negara-negara sekitarnya.

Image

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |