
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada akhir Desember 2025 bukan hanya merendam permukiman dan merusak fasilitas publik. Bencana itu kembali menunjukkan adanya kebijakan pembangunan nasional dan manajemen risiko di sektor energi kelistrikan yang harus segera dibenahi: jaringan yang ringkih, pemulihan lambat, dan minimnya infrastruktur yang tahan bencana.
Dalam beberapa hari setelah banjir, sebagian wilayah masih gelap gulita. Pemadaman menyebar dari kota hingga desa, memutus komunikasi, menghambat layanan kesehatan, dan membuat proses evakuasi berjalan lambat. Kondisi ini bukan kejutan baru — melainkan pola berulang (saya sering menyebutnya Risiko yang berulang tahun) yang menunjukkan bahwa sistem ketenagalistrikan di wilayah musibah tersebut belum tahan menghadapi bencana besar.
Kerusakan parah ini semua mengungkapkan titik lemah infrastruktur energi kelistrikan kita. Rusaknya tower transmisi, gardu induk, hingga jalur distribusi memperlihatkan betapa rentannya sistem kelistrikan. Banyak jalur tegangan tinggi dibangun di kawasan rawan longsor atau dekat aliran sungai tanpa perlindungan memadai.
Kondisi tersebut sudah terjadi, maka sekarang kita fokus pada upaya perbaikan dan pemulihan segera. Ingat!!!, kita semua punya kontribusi atas kondisi ini. Jadi saya katakan bahwa kita tidak bisa menyalahkan PLN dan anak perusahaannya 100 persen atas kondisi tersebut. Karena PLN group hanya berperan sebagai operator/pelaksana pengelolaan energi kelistrikan di Indonesia.
Sedangkan setiap keputusan strategis ada di tangan BP BUMN sebagai regulator yang menetapkan kebijakan risiko dan menentukan arah strategis PLN Group sebagai BUMN. Begitu pula dengan Danantara sebagai pengelola risiko investasi dan holding BUMN, membuat proses pelaporan Risiko PLN Group diserahkan ke holding lalu diintegrasikan dan review ke Danantara, baru diserahkan ke BP BUMN. Artinya Struktur pelaporan dan pengambilan keputusan risiko kini lebih berlapis dan terintegrasi serta berorientasi ke portofolio. Nah disinilah peran manajemen risiko pembangunan nasional harus kencang, ketat dan tegas mengawal proses itu semua.
Fyi, saya sudah sampaikan dalam opini saya di Republika 18 Januari 2025, tentang pentingnya penetapan kebijakan dan keputusan yang berbasis analisis risiko yang akurat. Juga Saya pernah mengingatkan pemerintah di Republika pada 30 Oktober 2024 lalu, yang menegaskan pentingnya manajemen risiko sebagai bagian dari pembangunan nasional.
Oke, daripada sekedar mengingatkan saja, maka saya sebagai konsultan di bidang Risk Management, Risk Culture dan Business Continuity Management (bagian dari Manajemen Risiko untuk kondisi disaster/insiden telah terjadi), saya merasa perlu menyampaikan beberapa analisis dan usulan rekomendasi penting dengan narasi yang sederhana dan singkat.
Dari berbagai referensi yang biasa kami sampaikan ke berbagai forum serta penggalian informasi dari tim kami yang di Aceh, maka saya mencoba membahas secara khusus untuk konteks Aceh.
Pemulihan Lambat: Sistem, infrastruktur dan SDM yang tidak siap hadapi krisis
Beberapa hari setelah banjir bandang surut, masih banyak daerah yang belum kembali menyala penuh energi kelistrikannya. PLN & mitranya harus memperbaiki jaringan secara manual dan merelokasi peralatan yang rusak satu per satu. Padahal, dalam sistem kelistrikan modern, pemulihan idealnya dibantu oleh teknologi smart grid, tersedianya cadangan pasokan fleksibel, mobile substation dan load shifting ke jalur alternatif.
Namun Aceh belum memiliki kapasitas pemulihan cepat seperti itu. Akibatnya, banjir di satu titik bisa mematikan seperempat wilayah. Banjir bandang di Bireuen, namun Banda Aceh, mengalami pemutusan aliran listrik secara bergilir 2-3 sekali. Nah, ini artinya sistem kelistrikan kita belum Tangguh.
Contoh kasus:
Ketika proses pemulihan tower transmisi jaringan di Bireuen yang tumbang karena derasnya air dengan bongkahan kayu besar dan banyak, dipulihkan kembali jaringan tersebut, juga pengiriman kapal PLTU atau super genset yang sudah tersedia ke beberapa lokasi strategis (dalam Business Continuity [BC] Strategi ini disebut strategi “standby”). Atau bahkan ada yang baru membeli genset (strategi BC: “Post Accident Acquisition”).
Kedua strategi tersebut menunjukkan bahwa strategi BC yang dipilih adalah level 3 dan 4, dimana asumsi pemulihannya membutuhkan waktu beberapa hari dan atau berminggu-minggu. Idealnya adalah strategi “replication”. Ada jalur alternatif yang sudah siap, tinggal di aktifkan saja. Ternyata, bila dilacak lebih detail lagi, tidak hanya tower jaringan transmisi di Bireuen saja yang rusak, melainkan jaringan dari Sumatera Utara juga rusak, sehingga membutuhkan waktu lagi untuk pemulihannya.
Ketika sudah beres tower transmisinya, ada sumber masalah lain, yaitu infrastruktur Gardu induk di aceh yang tidak mampu menjalankan fungsi penurunan tegangan (misal 150 kV → 20 kV); switching dan proteksi sistem ; atau pengaturan aliran daya. Setelah di cek, ternyata gardunya belum memiliki standar ideal ketahanan bencana, masih belum stabil. Juga sistem distribusinya masih bersifat konvensional dan tidak bisa melakukan isolasi otomatis. Sepengetahuan kami, di Jakarta sudah diterapkan adanya gardu induk di pemukiman/perumahan yang jalur bawah tanah. Namun hal ini sulit dilaksanakan karena berbagai faktor, semisal warga tidak memberikan tanahnya untuk penempatan gardu tersebut. Atau pihak PLN tidak memiliki anggaran dana untuk membeli/membayar semua kompensasi penggunaan tanah tersebut.
Lalu coba menggunakan alternatif dari PLTU di Nagan Raya. Menurut tim kami yang pernah melihat aktivitas PLTU tersebut, mengatakan bahwa PLTU tersebut belum optimal penggunaannya. Hal ini disebabkan karena jaringan transmisi yang belum terintegrasi di Aceh atau sebab lainnya yang perlu diinvestigasi.
Dampak yang semakin membesar dan meluas
Dalam BCM, kita perlu melakukan Damage Assessment (Rapid & Detail) untuk mengetahui lebih detail dampak dari banjir bandang tersebut. Bahkan perlu melakukan Post Disaster Business Impact Analysis, agar kondisi pemadaman pascabencana dapat memberikan informasi yang lebih detail yang menimbulkan dampak sosial ekonomi yang besar, semisal rumah sakit bergantung pada genset terbatas, jaringan internet dan telekomunikasi mati sehingga proses evakuasi terhambat karena komunikasi terganggu, UMKM terpaksa berhenti produksi, air bersih tidak mengalir karena pompa mati dan pelayanan pam tidak berfungsi serta aktivitas belajar mengajar lumpuh
Saatnya Penerapan Pembangunan yang Berbasis Manajemen Risiko & Business Continuity Management
Bila kita melakukan studi banding ke berbagai negara yang mengalami kondisi bencana yang lebih parah, mereka telah membangun sistem dan infrastruktur energi kelistrikan yang mampu mengisolasi area rusak tanpa memadamkan wilayah lain, memakai tower tahan longsor dan memanfaatkan energi terdistribusi (microgrid).
Oleh karena itu, dari berbagai referensi singkat, ada beberapa langkah besar untuk mencegah kejadian serupa terus berulang:
Pemetaan ulang jalur listrik di zona rawan
Gunakan metode Fault Tree Analysis (FTA) yang sangat bagus untuk memetakan secara lebih detail, akurat dan presisi. Hasil dari Analisa tersebut bisa menjadi referensi utama untuk Risk Assessment, Damage Assessment, bahkan menjadi cheklist untuk penyusunan risk treatment dan Business Continuity Plan. Hasil pemetaan ini akan membaut semua jalur transmisi perlu dievaluasi berbasis risiko banjir, longsor, dan erosi sungai. Jika perlu, tower dipindahkan ke lokasi aman.
Bangun sistem cadangan dan jalur alternatif
Replikasi adalah strategi kunci level 2 dalam BCM yang sangat disarankan. Aceh membutuhkan jalur ganda dan cadangan operasional sehingga satu kerusakan tidak berdampak ke seluruh wilayah. Ini membutuhkan komitmen Pemerintah dan Dana yang sangat besar
Kembangkan teknologi smart grid dan microgrid
Dengan energi terbarukan yang tersebar seperti PLTS dan biomassa. Atau mengembangkan sistem kelistrikan lainnya yang tetap hidup meski jaringan utama dari PLN rusak. Saya ingat sekali ketika menjadi konsultan UNDP di tahun 2006, saya mengelilingi seluruh Aceh. Nah di Sabang, para warga sudah menggunakan alat sederhana yang sumber listriknya berasal dari tenaga surya yang desainnya dari NGO internasional yang membantu Aceh pasca Tsunami.
Menerapkan Manajemen Risiko & Business Continuity Management dengan efektif dalam setiap aspek pembangunan nasional
Dengan Manajemen risiko dan menyiapkan BCM dikala insiden/ bencana terjadi maka proses 6R akan terlaksana dengan efektif. Yaitu Reduce (tindakan preventif dengan mengurangi peluang terjadinya bencana dan pengurangan dampaknya), Response (tindakan emergensi yang cepat dan mengamankan nyawa & kesehatan manusia serta aset/infrastruktur vital), Recovery (meningkatkan kemampuan operasional sampai mendekati kondisi normal), Resumption (mulai beroperasi kembali secara minimal, cepat, stabil, dan terkendali), Restore (mengembalikan kondisi ke normal atau bahkan lebih baik dari sebelumnya) dan Return (kembali ke operasi normal dimana sudah melakukan penutupan insiden dan ada evaluasi pascakrisis).
Penutup
Bencana banjir bandang yang disebabkan banyak faktor dan Krisis kelistrikan pascabanjir harus menjadi titik balik. Aceh & provinsi lainnya membutuhkan infrastruktur energi yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih adaptif terhadap bencana. Jika tidak ada perubahan, maka setiap musim hujan besar, setiap provinsi khususnya daerah aceh akan terus hidup dalam pola yang sama: banjir datang, jaringan runtuh, listrik padam, dan layanan publik lumpuh. Sudah waktunya kita memiliki sistem kelistrikan yang tidak hanya menyala di saat normal, tetapi juga tetap tangguh ketika bencana datang. Dan saatnya kita semua berkomitmen untuk menerapkan manajemen risiko terintegrasi & BCM demi keberlanjutan pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.

5 hours ago
5





































