Riset Nagara Institute: Mekanisme Transparansi yang Kuat Diperlukan untuk Kelola Danantara

21 hours ago 8

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Nagara Insitute menyampaikan temuan hasil kajiannya terkait Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dalam Round Table Discussion (RTD) bertajuk ‘Menghitung Risiko dan Harapan Superholding BUMN Danantara’ di Sahid Raya Hotel & Convention Yogyakarta, Selasa (16/12/2025).

Dua peneliti utama, yakni Prof Satya Arinanto dan Dr Edi Sewandono membeberkan serangkaian potensi tantangan dan risiko yang dihadapi oleh entitas super holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.

BPI Danantara yang lahir melalui Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 dan UU Nomor 16 Tahun 2025, bertujuan mengonsolidasikan pengelolaan BUMN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.

Akan tetapi, menurut Nagara Institute, di balik harapan besar tersebut, terdapat risiko sistemik, mulai dari tata kelola, politisasi, hingga kerentanan dalam investasi global.

Prof Satya Arinanto secara tegas menyoroti potensi risiko hukum dan tata kelola jika Danantara tidak diawasi secara ketat.

Menurut dia, skala aset Danantara yang sangat masif, mencapai 900 miliar dolar AS sehingga membutuhkan mekanisme transparansi yang sangat kuat.

"Jika tidak diawasi dengan ketat, ada risiko penyalahgunaan aset dan investasi tidak produktif. Diperlukan mekanisme transparansi yang kuat agar tidak terjadi praktik oligarki," ungkapnya.

Dia menyoroti risiko politisasi, yaitu intervensi politik dalam pengambilan keputusan dan resistensi dari perusahaan BUMN yang sudah ada.

Sebagian BUMN mungkin menolak pengalihan aset karena merasa kehilangan kendali, yang memerlukan strategi komunikasi dan insentif yang matang agar sinergi dengan Danantara tercapai.

Selain itu, penguasaan aset yang begitu besar oleh Danantara juga berpotensi menghambat persaingan usaha di beberapa sektor, yang mengharuskan adanya regulasi yang memastikan keberimbangan antara peran negara dan swasta.

Sementara itu, peneliti Nagara Institute, Dr Edi Sewandono memaparkan tantangan yang lebih spesifik di tingkat operasional dan investasi, yang menjadi pekerjaan rumah bagi Badan Pengaturan (BP) BUMN dan BPI Danantara.

Menurut dia, BPI Danantara harus mengatasi masalah fundamental BUMN yang terus menurun, yaitu: profitabilitas BUMN yang selalu menurun, inefisiensi yang menghambat pertumbuhan, serta utang BUMN yang semakin meningkat.

“Ini yang paling penting bahwa BP BUMN dan pengelolaan Danantara akan mengalami permasalahan profitabilitas BUMN yang selalu menurun, value destruction-nya itu semakin tinggi. Kemudian utang BUMN yang semakin meningkat dan keberlanjutan bisnis pada 80 persen lebih BUMN mengkhawatirkan,” tuturnya.

Dia juga menyoroti masalah operasional yang kronis, seperti tumpang tindih bisnis dan rantai nilai di sejumlah besar BUMN, perbedaan kinerja utama di antara BUMN yang akan di-holding-kan, serta risiko salah urus operasional yang erat kaitannya dengan politisasi dan Good Corporate Governance (GCG) yang lemah.

Dalam konteks Super Holding Investasi Global atau Sovereign Wealth Fund (SWF), Edi Sewandono memperingatkan adanya kerentanan organ BPI Danantara.

Dia menyebutkan kelemahan terbesar ada pada tugas fidusia, konflik kepentingan struktural, dan kerentanan akuntabilitas di antara jajaran pengelola.

Di samping tantangan internal, BPI Danantara juga harus siap menghadapi enam masalah utama yang SWF global alami.

Di antaranya suku bunga rendah atau negatif, perubahan demografis, dan yang paling krusial adalah pergeseran geopolitik.

“Pergeseran Geopolitik yang kaitannya dengan Amerika dan Rusia, SWF ini sangat khawatir kalau misalkan Indonesia dikasih investasi, ternyata ikut BRICS, dan BRICS- nya itu pro Rusia, maka ada beberapa macam kendala,” ujarnya.

Edi Sewandono menekankan bahwa kondisi geopolitik dapat menghambat investasi luar, seperti yang terjadi pada beberapa proyek di Indonesia.

Nagara Institute lantas menegaskan, meskipun BPI Danantara memiliki peran strategis untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045 - melalui optimalisasi aset, peningkatan investasi jangka panjang, dan diversifikasi ekonomi - tujuan tersebut tidak akan tercapai tanpa pengawasan dan tata kelola yang kuat.

Sebagai solusi, Nagara Institute merekomendasikan BP BUMN agar memaksimalkan pengaturan GCG, yang meliputi:

1. Pemilihan dan penunjukan direksi dan dewan komisaris yang qualified, bebas dari intervensi politik;

2. Dukungan penuh melalui kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) dan kinerja anggaran;

3. Monitoring berkala dan supervisi tidak hanya melalui komisaris, tetapi juga dari BP Danantara dan BP BUMN;

4. Penerapan Sistem Reward And sistem reward and punishment yang jelas.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |