Syahrial, S.T
Sastra | 2024-11-13 16:06:00
Aroma kopi dan roti panggang mengambang di udara, bercampur dengan dengung samar percakapan pengunjung kafe. Di luar, langit Bandung mulai memerah, menciptakan permainan bayangan di antara gedung-gedung tua peninggalan kolonial. Daun-daun pohon mahoni bergoyang pelan, menari dengan semilir angin pegunungan yang khas.
Rama mengamati tetesan air yang mengembun di sisi cangkir kopinya. Dulu, di meja yang sama, ia sering menghabiskan sore dengan laptop terbuka, bermimpi membangun empire teknologi yang akan mengubah dunia. Kini, lima tahun kemudian, yang tersisa hanyalah secangkir kopi yang mendingin dan segunung penyesalan.
Suara dentingan sendok bertemu cangkir dan alunan jazz lembut dari speaker kafe menciptakan melodi yang familiar di telinganya. Kafe ini masih sama seperti dulu – dinding bata ekspos yang dicat putih, lampu-lampu Edison yang menggantung rendah, dan aroma kayu manis yang samar-samar. Hanya saja kini semua terasa berbeda, seperti foto lama yang mulai memudar di tepiannya.
"Mas Rama?" Sebuah suara lembut membuyarkan lamunannya.
Seorang wanita berusia sekitar 40-an berdiri di hadapannya. Wajahnya teduh dengan senyum yang mengingatkan Rama pada mendiang ibunya. Sweater rajut berwarna marun yang dikenakannya seolah menegaskan kehangatan yang terpancar dari sosoknya.
"Bu Astrid?" Rama berdiri, menyambut mentornya semasa kuliah dulu. Aroma parfum lavender yang familiar menguar ketika mereka berpelukan singkat.
"Boleh saya bergabung?" tanya Bu Astrid. Rama mengangguk, menarik kursi untuk gurunya itu.
"Sudah lama sekali ya, Mas. Terakhir kita bertemu..." Bu Astrid menggantung kalimatnya.
"Saat perusahaan saya bangkrut," Rama melanjutkan dengan senyum getir. "Setahun yang lalu.
"Bu Astrid mengangguk pelan. "Dan bagaimana kabarmu sekarang?"
Rama mengaduk kopinya yang sudah dingin. "Masih bertahan, Bu. Mencoba bangkit pelan-pelan."
"Startup teknologi yang gagal bukan akhir dari segalanya, Mas Rama."
"Tapi rasanya seperti akhir dunia, Bu. Lima tahun kerja keras, tabungan habis, hutang menumpuk. Belum lagi malu sama keluarga, investor, karyawan..."
Bu Astrid mengeluarkan sebuah buku notes usang dari tasnya. "Kamu ingat ini?"
Rama memperhatikan buku itu. "Itu... buku catatan saya waktu kuliah?"
"Ya, yang ketinggalan di kelas saya dulu. Saya menyimpannya karena ada sesuatu yang menarik di dalamnya."
Bu Astrid membuka halaman yang sudah ditandai. Di sana tertulis dengan tulisan tangan Rama yang masih berantakan: "Suatu hari nanti, saya akan membuat perusahaan teknologi yang bisa membantu banyak orang."
"Impian yang indah," Rama tersenyum pahit.
"Dan kamu sudah mencobanya, Mas. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Berapa ribu pengguna yang sudah terbantu dengan aplikasimu?"
"Tapi pada akhirnya gagal, Bu."
"Justru di sanalah letak pembelajaran terbesar." Bu Astrid meneguk tehnya. "Kamu tahu kenapa saya selalu memberikan ujian yang sulit di kelas dulu?"
Rama menggeleng.
"Karena dari kesalahan dan kegagalan, kalian belajar jauh lebih banyak daripada dari keberhasilan. Setiap kali kalian salah mengerjakan soal, kalian akan ingat di mana letak kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi."
"Tapi ini berbeda, Bu. Ini menyangkut hidup banyak orang."
"Justru karena itu lebih berharga. Kamu sekarang tahu exactly apa yang tidak boleh dilakukan dalam menjalankan bisnis. Kamu sudah mengalami pasang surut pasar, menghadapi investor, mengelola tim. Itu semua pembelajaran yang tidak bisa didapat dari buku atau kuliah manapun."
Rama terdiam, mencerna kata-kata Bu Astrid. Lampu-lampu kafe mulai menyala satu per satu, menciptakan atmosfer hangat yang kontras dengan keremangan senja di luar. Dari jendela besar kafe, ia bisa melihat lampu-lampu kendaraan yang bergerak perlahan di Jalan Dago, seperti kunang-kunang yang menari dalam gerimis tipis yang mulai turun. Suara hujan yang jatuh di atap kanopi menambah dimensi baru pada alunan jazz yang masih mengalun lembut.
"Saya dengar kamu sekarang jadi konsultan startup?" tanya Bu Astrid sambil menghangatkan tangannya dengan cangkir teh.
"Iya, Bu. Sambil mencari modal untuk memulai lagi."
"Nah, itu dia! Kamu menggunakan kegagalanmu sebagai pembelajaran untuk membantu orang lain. Bukankah itu lebih berharga daripada kesuksesan yang membuat kita lupa daratan?"
Aroma espresso segar menguar dari counter barista, bercampur dengan wangi pastry yang baru keluar dari oven. Beberapa mahasiswa di sudut ruangan tertawa pelan sambil mendiskusikan tugas mereka, mengingatkan Rama akan masa-masa kuliahnya dulu. Masa di mana kegagalan terburuk yang ia khawatirkan hanyalah nilai C pada mata kuliah algoritma.
Rama tersenyum, kali ini lebih tulus. "Ibu selalu tahu cara membesarkan hati murid-muridnya ya."
"Bukan membesarkan hati, tapi mengingatkan apa yang sudah ada di dalam hatimu." Bu Astrid mengeluarkan selembar kartu nama. "Kebetulan saya sedang mencari konsultan untuk proyek inkubator startup di kampus. Tertarik?"
Mata Rama berbinar. "Serius, Bu?"
"Dengan pengalamanmu, kamu bisa membantu anak-anak muda menghindari kesalahan yang sama. Bagaimana?"
"Tentu saja saya mau, Bu!"
"Nah, lihat kan? Kegagalanmu justru membuka jalan baru." Bu Astrid tersenyum penuh arti. "Hidup ini seperti menulis kode program, Mas. Kalau error, kita debug, pelajari di mana kesalahannya, lalu tulis ulang dengan lebih baik. Yang penting jangan sampai infinite loop dalam kesedihan."
Di luar, hujan mulai mereda, menyisakan aroma petrichor yang menyegarkan. Kopi dingin di hadapannya kini terasa hangat kembali, seperti semangatnya yang mulai menyala. Dentingan bel kafe berbunyi ketika pengunjung baru masuk, membawa serta hembusan angin dingin dan harapan baru.
Malam mulai merangkak naik di langit Bandung, menggantikan senja dengan taburan lampu kota yang berkedip-kedip seperti bintang. Di kafe yang sama di mana mimpinya dulu dimulai, Rama menemukan arti baru dari sebuah kegagalan. Kali ini, dengan secangkir kopi yang menghangatkan hati dan kebijaksanaan yang hanya bisa didapat dari jatuh dan bangkit kembali.
"Terima kasih, Bu," ucap Rama tulus, suaranya sedikit bergetar.
"Sama-sama. Ingat, Mas Rama. Dalam hidup, kita belajar lebih banyak dari kegagalan daripada kesuksesan. Yang penting adalah apa yang kita lakukan setelahnya."
Saat Rama dan Bu Astrid beranjak pulang, suara derit kursi kayu berpadu dengan alunan piano dari speaker kafe yang melantunkan "What A Wonderful World". Mungkin memang benar, dunia masih indah bahkan setelah kegagalan terburuk sekalipun. Yang diperlukan hanyalah sudut pandang yang berbeda – dan secangkir kopi yang pas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.