Ratusan Guru Besar FKUI Sampaikan Kritik Kebijakan Kemenkes, Ini Poin Protesnya

12 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 157 guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyatakan sikap atas kebijakan kesehatan dan pendidikan kedokteran dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jumat (16/5/2025). Kebijakan Kemenkes dinilai berpotensi menurunkan mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis, sehingga berdampak langsung pada kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.

Guru Besar FKUI Prof Siti Setiati mengatakan, pihaknya merasa prihatin dengan kebijakan kesehatan nasional saat ini menjauh dari semangat kolaboratif. Alih-alih memperkuat mutu layanan dan pendidikan, kebijakan Kemenkes disebut berisiko menurunkan kualitas pendidikan dokter dan dokter spesialis, yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan untuk masyarakat.

"Pendidikan dokter bukanlah proses sederhana, melainkan perjalanan akademik panjang yang hanya dapat terwujud melalui rumah sakit pendidikan yang mengintegrasikan pelayanan, pengajaran, dan penelitian sesuai standar global," kata Siti saat membacakan pernyataan sikap di FKUI Salemba, Jakarta Pusat, Jumat siang WIB.

Dia menyatakan, terdapat enam alasan pernyataan sikap itu dibuat. Pertama, pendidikan dokter dan dokter spesialis tidak dapat disederhanakan. Menurut Siti, menjadi seorang dokter bukan sekadar menjalani pelatihan teknis, melainkan melalui proses pendidikan akademik yang panjang, ketat, bertahap sesuai filsafat kedokteran yang mendasari layanan kesehatan oleh seorang dokter.

"Pendidikan terbaik dilakukan di fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan yang menjalankan pelayanan dan penelitian sesuai standar global," kata Siti. 

Kedua, penyelenggaraan pendidikan dokter di luar sistem universitas memerlukan kerja sama erat dengan fakultas kedokteran. Karena itu, menurut Siti, kebijakan Kemenkes akan menimbulkan ketimpangan kualitas antardokter, meningkatkan risiko kesalahan dalam pelayanan medis, dan pada akhirnya merugikan pasien dan masyarakat luas, apabila dilakukan tanpa adanya sinergi yang baik.

Ketiga, pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan mengancam ekosistem pendidikan kedokteran. Pasalnya, selama ini dosen yang juga berpraktik sebagai dokter di rumah sakit pendidikan menjalankan peran layanan, pengajaran, dan riset secara terpadu. 

"Pemisahan peran ini akan merusak sistem yang sudah berjalan dengan baik dan menurunkan kualitas pembelajaran bagi mahasiswa kedokteran dan dokter muda," ujar Siti.

Keempat, pelayanan kesehatan yang baik hanya dapat diberikan oleh tenaga medis yang dididik dengan standar tinggi. Apabila mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis diturunkan, sambung Siti, kualitas pelayanan kesehatan akan ikut menurun.

"Hal ini akan berdampak pada meningkatnya angka kematian ibu dan bayi, prevalensi stunting, kasus TB, serta penyakit tidak menular. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya," kata Siti.

Kelima, koordinasi restrukturisasi dengan institusi pendidikan setelah penetapan RS Pendidikan Utama. Ketika RS Vertikal sudah ditetapkan sebagai RS Pendidikan Utama oleh Kemenkes, perubahan struktur termasuk pembentukan departemen dan mutasi staf medis yang ada harus dikoordinasikan dengan pimpinan institusi pendidikan.

Keenam, kolegium kedokteran harus dijaga independensinya untuk melindungi mutu dan kompetensi profesi. Menurut dia, kolegium sebagai lembaga profesi bertanggung jawab menjaga standar kompetensi dan mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis di Indonesia. Karena itu, kolegium harus tetap mandiri dan bebas dari intervensi kebijakan yang tidak berbasis akademik maupun kepentingan jangka pendek. 

"Jika peran kolegium dilemahkan, maka akan terjadi degradasi kualitas tenaga medis dan hilangnya kepercayaan publik terhadap profesi kedokteran di negeri sendiri," kata Siti.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |